Skip to main content

Representasi Mahal, Legitimasi Murah



Eko Ernada, Kolumnis dan Dosen FISIP Universitas Jember A A A Eko Ernada Kolumnis dan Dosen FISIP Universitas Jember SEJAK masa Republik Romawi, politik selalu menanggung beban paradoks: bagaimana memberi imbalan yang layak kepada mereka yang mewakili rakyat, tanpa mengubah jabatan publik menjadi arena perburuan rente? Senat Romawi bahkan pernah memperdebatkan, apakah pejabat publik sebaiknya diberi bayaran simbolis agar tidak menjadikan jabatan sebagai profesi, atau justru imbalan memadai agar mereka bisa berkonsentrasi penuh pada urusan negara. 

    Di Yunani kuno, para juri rakyat menerima uang harian kecil agar warga miskin pun tetap bisa terlibat dalam urusan polis. Prinsipnya sederhana: representasi memang membutuhkan imbalan, tetapi tidak boleh menjelma privilese. Namun logika sederhana itu kini terasa semakin rumit. Di Indonesia, kontroversi mengenai tunjangan anggota DPR menjadi titik api ketidakpuasan publik. Protes yang muncul bukan semata pada besaran rupiah, melainkan pada keadilan moral: apakah pantas sebuah lembaga yang kinerjanya kerap diragukan justru terus menambah daftar fasilitas? Aristoteles sejak awal mengajarkan prinsip keadilan distributif—setiap orang mendapat sesuai dengan kontribusinya. Publik menilai kontribusi DPR tidak sebanding dengan imbalan: kehadiran rapat sering rendah, legislasi strategis kerap tersendat, fungsi pengawasan melempem, sementara berita etik justru ramai. Bila kontribusi rendah, apakah wajar imbalan tinggi? Dalih klasik selalu diulang: biaya politik di Indonesia amat mahal. 

    Untuk menjadi anggota DPR, seseorang harus membayar mahar partai, biaya kampanye, hingga ongkos tak kasatmata menyapa konstituen. Maka, gaji dan tunjangan besar dianggap wajar—bahkan perlu—sebagai sarana balik modal. Tetapi logika ini berbahaya. Ia mengubah kursi DPR bukan menjadi amanat rakyat, melainkan instrumen investasi. Jeffrey Winters menyebut fenomena ini sebagai oligarki: kekuasaan terperangkap di tangan mereka yang punya modal, lalu menggunakan jabatan untuk melanggengkan posisi. Jika tunjangan dirancang bukan demi pelayanan publik, melainkan demi menutupi ongkos politik pribadi, representasi berubah menjadi bisnis.

    Namun faktor penentu bukan semata angka absolut, melainkan proporsionalitas. Di banyak negara maju, gaji anggota parlemen hanya dua atau tiga kali lipat dari gaji guru atau dosen. Di Inggris, seorang anggota parlemen menerima sekitar £93.900 setahun, sementara guru sekolah menengah memperoleh £35.000–45.000. Artinya, wakil rakyat hanya sekitar dua kali lipat guru.

    Di Swedia, seorang anggota parlemen bergaji setara profesor universitas, hanya sedikit lebih tinggi dari guru SMA. Bahkan di Singapura, meski nominal gaji anggota parlemen sangat besar, perbandingannya masih proporsional dengan guru dan profesor yang juga bergaji tinggi. Kontras dengan Indonesia. Anggota DPR menerima total gaji dan tunjangan lebih dari Rp100 juta per bulan. Bandingkan dengan guru PNS awal karier yang hanya Rp3–4 juta, atau dosen dengan gelar doktor yang berkisar Rp7–12 juta. Rasio ini mencapai 20–30 kali lipat untuk guru, dan 8–12 kali lipat untuk dosen. Gap sebesar ini bukan hanya tidak proporsional, melainkan juga menimbulkan jurang simbolik: wakil rakyat tampil sebagai kelas istimewa, jauh melampaui profesi-profesi yang justru menopang peradaban bangsa. 

    Inilah yang memicu kemarahan publik. Bukan semata rakyat tidak mengerti tingginya biaya politik, melainkan karena kesenjangan terlalu ekstrem, dan tidak dibarengi kinerja maupun komunikasi politik yang meyakinkan. E.P. Thompson dan James Scott menyebutnya sebagai moral economy: ukuran keadilan rakyat yang sering berbeda dari legalitas formal negara. Secara hukum tunjangan DPR sah, tetapi secara moral melukai. Di tengah harga sembako yang naik, lapangan kerja sulit, dan subsidi rakyat terus diperdebatkan, tunjangan rumah, transportasi, komunikasi, hingga beras untuk anggota DPR justru terasa sebagai satire yang menyakitkan. Lebih ironis lagi, DPR seakan abai bahwa legitimasi publik tidak hanya dibangun di ruang sidang, tetapi juga di ruang persepsi. 

    Politik modern pada akhirnya adalah seni membangun kepercayaan. Anggota parlemen di negara lain berusaha menjaga jarak simbolik agar tetap rasional: mereka boleh digaji lebih tinggi, tetapi tidak sampai menimbulkan jurang mencolok dengan profesi penting lainnya. Di Indonesia, jarak itu bukan saja dibiarkan melebar, tetapi justru diperluas lewat serangkaian tunjangan tambahan. Komunikasi yang buruk membuat jarak itu tampak seperti tembok yang memisahkan wakil rakyat dari rakyat yang mereka wakili.

Comments